top of page

Kawasan Banten Lama, mengenang kejayaan maritim Nusantara

  • Writer: buditryantoro
    buditryantoro
  • Jan 6, 2016
  • 7 min read

Tanggal 9 Desember 2015 kemarin, bertepatan dengan libur Pilkada yang berlangsung di beberapa kota di Indonesia, saya bersama 3 orang teman mengunjungi sebuah kawasan yang berada di utara propinsi Banten yang kaya akan sejarah masa lalu. Sudah dari dulu saya mengetahui tempat ini dan pengen banget meng-explore beberapa tempat yang menjadi saksi kejayaan sebuah peradaban di masanya. Akhirnya tepat di tanggal tersebut, memanfaatkan satu hari libur saya dan teman-teman bertolak dari ibukota Jakarta sehari sebelumnya untuk menginap terlebih dahulu di Balaraja yang lebih dekat akses nya ke kawasan tersebut, untuk kemudian naik bis jurusan Jakarta-Merak dan berhenti di Kota Serang.

Pagi hari sekitar jam 8 kami tiba di Kota Serang setelah bis yang kami tumpangi keluar pintu tol Serang Timur dan turun di persimpangan patung. Dari situ kami melanjutkan perjalanan langsung ke kawasan Banten Lama dengan menaiki angkot yang kami carter seharga 60ribu rupiah saja. Perlu negosiasi yang cukup alot dan lama antara sang sopir angkot dengan teman saya dalam memutuskan harga carteran. Harga 15ribu per orang cukup murah bagi saya daripada bingung harus berganti angkutan atau gimana-gimana nantinya, hehe.. Perjalanan kami tempuh tidak begitu lama karena hanya berupa jalanan lurus ke utara setelah melewati sudut kota Serang dan berakhir di sebuah kawasan pemukiman dengan situs sejarah Banten Lama yang bercampur bersama dan tersebar di tengah-tengah kawasan tersebut.

Agkot kami berhenti di kawasan situs yang pertama kami singgahi, Benteng Surosowan. Benteng atau Keraton Surosowan ini didirikan pada masa pemerintahan Kesultanan Banten oleh Maulana Hasanuddin pada tahun sekitar 1552. Saat memasuki benteng ini, tidak ada lagi bangunan-bangunan yang utuh hanya terlihat bekas pondasi dari ruangan-ruangan berupa kamar dan aula yang bisa dibayangkan bahwa benteng ini adalah bangunan yang sangat gemilang pada zamannya. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surosowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya (id.wikipedia.org). Agak masuk ke bagian tengah benteng terdapat sebuah kolam yang kemungkinan sebagai tempat pemandian bagi para sultan dan keluarganya. Namun kondisinya sekarang terlihat penuh lumut dan sedikit sampah berserakan di tepi kolam. Kami menuju ke arah sudut benteng yang mempunyai anak tangga untuk menuju ke bagian atas. Kami jelajahi beberapa sudut benteng untuk mengambil objek foto. Walaupun bentuk dalam area benteng wujudnya tidak sempurna lagi, namun beberapa pintu-pintu gerbang masih terlihat cukup bagus dan otentik. Saat itu cuaca cukup panas sehingga kami tidak berlama-lama di benteng tersebut karena masih banyak situs yang akan kami kunjungi.

Tak jauh dari Benteng Surosowan tepatnya di bagian depan seberang benteng terdapat Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang menyimpan berbagai macam benda-benda purbakala yang tersisa dari masa kejayaan Kesultanan Banten. Namun sayang, saat kami kesana museum tutup dikarenakan libur Pilkada tersebut. Tapi kami diijinkan oleh seorang bapak yang sedang berjaga di pos gerbang museum untuk bisa masuk ke bagian halamannya saja. Di bagian halaman museum tersebut terdapat kumpulan pecahan-pecahan bangunan dari masa Kesultanan Banten serta susunan artefak-artefak kuno yang berjejer rapi agar bisa dibaca oleh pengunjung. Di area itu juga terdapat Meriam Ki Amuk yang cukup tersohor. Meriam yang terbuat dari tembaga dengan tulisan arab yang panjangnya sekitar 2,5 meter ini merupakan bantuan dari Ottoman Turki, yang konon memiliki kembaran yaitu Meriam Ki Jagur yang saat ini tersimpan di halaman belakang Museum Fatahillah Jakarta (id.wikipedia.org).


Sebelum melanjutkan perjalanan ke situs yang lainnya, kami melepas dahaga terlebih dahulu karena memang saat itu cuaca lagi panas-panasnya. Kerongkongan terasa kering dan saya ingin menikmati sesuatu yang dingin-dingin. Kami pun singgah dan nongkrong di warung yang terletak di bagian halaman parkir Benteng Surosowan. Di warung tersebut selain memesan es teh, kami juga memesan mie ayam dan bakso. Banyak warung sejenis lainnya di sekitar situ namun yang memprihatinkan kondisinya seperti kumuh dan tidak rapi ditempat yang menjadi situs bersejarah dan pariwisata itu. Malahan diantara warung-warung tersebut terdapat situs penting yang dipagari dan beratap genteng. Orang-orang yang berkunjung mungkin akan terlewati begitu saja karena kondisi situs kurang perawatan yang berarti. Setelah kami beristirahat, perjalanan dilanjutkan menuju Mesjid Agung Banten. Tak begitu jauh dari situs Surosowan, kami melihat menara mesjid yang berwarna putih tersebut sangat kontras terilihat dengan latar belakang langit biru cerah. Kami tidak memasuki sampai ke dalam area mesjid karena saat itu juga belum masuk waktu zuhur untuk menunaikan salat. Kami hanya melihat dari kejauhan dan sambil berjalan kaki. Dari arah pekarangan dan jalan lingkungan terlihat cukup banyak orang berlalu lalang selepas melakukan ziarah. Ya di serambi kiri Mesjid Agung Banten ini terdapat kompleks makam Sultan-sultan Banten dan keluarganya, seperti Maulana Hasanuddin dan permaisurinya Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut informasi yang saya kutip dari wikipedia juga, Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kesultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati. Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda China. Ini adalah karya arsitektur China yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama. Diluar halaman mesjid dipinggir jalan yang kami lalui, banyak lapak-lapak yang menjual berbagai barang dan cinderamata. Kami terus berjalan kaki menyusuri kawasan tersebut hingga kami melewati jalur rel kereta api dan singgah di situs berikutnya.

Kami ikuti jalan tanah setelah dari arah mesjid kurang lebih 500 meter, dan kami tiba di sebuah persimpangan tiga jalan aspal dimana didekat situ terdapat situs Mesjid Pecinan Tinggi. Kami tidak bisa memasuki area situs tersebut karena pagarnya terkunci tapi kami masih bisa melihat secara terbuka bagaimana kondisinya dari pinggir jalan. Tidak ada yang tersisa dari mesjid ini selain sebuah menara tinggi di tengah kawasannya. papan petunjuk situsnya pun sudah lapuk tapi kami bisa membayangkan bahwa disekeliling area ini adalah dinding mesjid karena tersisa bekas-bekas reruntuhannya. Dari situ kami berjalan ke arah sebaliknya menuju Vihara Avalokitesvara. Vihara ini menjadi bukti bahwa keberadaannya adalah sebuah toleransi diantara multi ras dan etnis yang mendiami kawasan banten sejak dahulu kala. Kami memasuki vihara tersebut dan melihat apa saja yang bisa dijadikan bukti sejarah. Di dalam vihara kami melepas penas sementara dengan duduk-duduk di sebuah area tamannya. Tidak jauh dari vihara tersebut, apabila kita menyebrangi selokan atau kanal yang cukup lebar terdapat sebuah situs Benteng Spellwijk. Menurut catatan sejarah, benteng ini didirikan pada tahun sekitar 1585 yang digunakan sebagai menara pemantau karena letaknya yang lebih ke utara dan berhadapan langsung dengan Pantai Utara Jawa dan Selat Sunda.

Seperti kondisi Benteng Surosowan, benteng ini juga hanya tersisi puing-puing di dalamnya. Hanya dinding di sekelilingnya saja yang masih berdiri kokoh. Saat kami kesana, banyak muda-mudi berdatangan sambil membawa motor yang diparkir di area benteng. Saya mendatangi salah satu sudut ruangan di dalam benteng tersebut. Sangat gelap dan bau yang tidak diharapkan oleh saya langsung menyebar, rasa kecewa saya rasakan dengan kondisi yang ada di ruangan itu. Saya dan teman-teman lalu beralih ke arah sudut benteng lain yang lebih jauh dimana ada tangga untuk naik ke bagian atasnya. Bagian bawah dari sudut itu kemungkinan adalah ruangan seperti bekas penjara yang terkunci oleh pintu besi. Ada seorang anak yang menawari untuk melihat kedalamnya, tapi saya menolak karena kondisinya pasti kurang lebih sama dengan yang saya temui sebelumnya. Dari sisi atas benteng tersebut, kondisi terlihat lebih baik dan terlihat pemandangan laut diujung utara. Kami berempat pun mengabadikan momen-momen indah di benteng itu dengan berfoto ria. Sesungguhnya bangunan benteng ini sungguh unik dan masih terasa wujud bentengnya namun kurang perawatannya saja. Sebaiknya memang dinas kepariwisataan mulai lebih serius menggarap potensi yang ada di kawasan Banten Lama terutama untuk bangunan historical-nya seperti Benteng Spellwijk ini.


Perjalanan lalu kami lanjutkan menuju Pelabuhan Karangantu yang harus kamu tempuh dengan angkot yang melewati jalan ke pelabuhan tersebut. Kami tidak sanggup jika harus berjalan kaki lagi karena panas yang sangat terik sekali. Dengan hanya membayar ongkos 2500 rupiah saja kami pun tiba di persimpangan Pelabuhan Karangantu. Dari situ kami berjalan kaki di sisi jalan yang berbatasan dengan kanal yang banyak terparkir kapal-kapal dan sampan kecil milik penduduk sekitar. Kanal dengan lebar kurang lebih 20 meter tersebut tersambung dengan lautan di sisi utara banten lama. Daerah inilah dahulu kapal-kapal dari penjuru dunia terutama Eropa, China dan India datang berlayar dan berlabuh di Kesultanan Banten. Daerah yang dulu sangat disegani kini seperti hilang dan kemegahannya tak terasa lagi. Beberapa kapal terlihat rusak dan sebagian tampak baru yang lebih digunakan untuk berlayar memancing ikan ke tengah laut. Di pelabuhan ini juga merupakan titip keberangkatan pertama jika kita ingin menyebrang ke pulau tiga, empat dan lima juga Pulau Tunda. Iseng-iseng kami bertanya dengan salah satu pemuda yang kebetulan nongkrong di sebuah pos kayu di pinggir kanal. Sebelum bertanya kami sempat juga melihat plang kayu yang bertuliskan "terima sewa kapal untuk ke pulau 3,4,5,tunda" Saya memang sekalian ingin bertanya dan melakukan survey harga berapa sewa kapal pp untuk ke pulau-pulau tersebut. Suatu saat kami akan berkunjung ke pulau-pulau itu nantinya ntah kapan. Setelah bicara panjang lebar dengan pemuda tersebut kami pun mendapatkan nomor kontaknya untuk disimpan agar bisa dihubungi next time. Kami menyudahi perjalanan kami di pelabuhan tersebut dengan singgah di mesjid di dekat situ untuk salat zuhur. Badan kami terasa cukup lelah dan perut mulai terasa lapar. Tapi kami masih mempunyai satu tujuan lagi sebelum pulang kembali ke Kota Serang.



Dari pelabuhan kami berjalan kaki menuju destinasi terakhir yaitu Keraton Kaibon. Keraton ini pada dasarnya adalah sebuah istana yang diyakini oleh penduduk sekitar adalah sangat megah, hingga akhirnya dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1832 akibat terjadi peperangan dengan Kesultanan Banten. Konflik bermula dimana Sultan Syafiudin yang menjadi Sultan Kerjaan Banten yang ke-21 menolak perintah dan kerjasama dengan Gubernur Jenderal Daen Dels dari Belanda yang saat itu mulai menunjukkan kekuasaannya di nusantara. Keraton Kaibon yang merupakan hadiah bagi Ratu Aisyah, ibu dari Sultan Syafiudin pun lalu porak poranda dan hancur oleh kekejaman Belanda, namun kita masih bisa melihat sisa-sisa yang tidak sepenuhnya rata dengan tanah seperti yang terjadi pada Benteng Surosowan (sumber: id.wikipedia.org). Di sekeliling komplek keraton masih berdiri tegak dinding yang hanya berlapis lumut dan warna kehitam-hitaman karena dimakan waktu. Masuk kedalam komplek, masih berdiri pintu gerbang yang berukuran besar dan terdapat sebuah aula yang elevasinya lebih tinggi dari tanah tempat kita berpijak. Saya berkeliling sampai keluar keraton di sisi lain dari tempat kami masuk sebelumnya. Pintu-pintu gerbang masih terukir penuh otentik seperti gerbang khas pura di Bali. Di depannya terdapat pohon beringin besar dan kanal yang berair hijau. Kami pun berfoto-foto untuk terakhir kalinya. Destinasi terakhir buat saya ini mengundang decak kagum. Setidaknya kami masih bisa menikmati dan merasakan bagaimana kejayaan dan indahnya bangunan historical yang ada di komplek tersebut.


Dari pinggir jalan Keraton Kaibon kami pun langsung mencegat angkot yang melintas dan langsung menuju ke Kota Serang. Demikian sepenggal cerita perjalanan kami menyusuri kawasan Banten Lama. Sebuah tempat yang menjadi sejarah keberadaan Kerajaan Banten yang bersinar sampai ke pelosok dunia. Untuk melengkapi cerita diatas, saya mengutip link video Youtube milik Bung Andi Arfani yang menceritakan kawasan Banten Lama lebih detail dari sisi yang lain, sebuah Dokumenter sejarah Pelabuhan Karangantu.




















 
 
 

Comments


Subscribe for Updates

Congrats! You're subscribed.

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon

© 2015 by Pejalan Tangguh. Proudly created with Wix.com

bottom of page