Gunung Kerinci & Danau Gunung Tujuh, Satu paket pendakian yang menantang di Taman Nasional Kerin
Ini adalah kali kedua saya bertandang ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang sebagian besar wilayahnya masuk kedalam Propinsi Jambi, dimana sebelumnya saya pernah melancong kesini juga hanya karena ingin melihat seperti apa Danau Gunung Tujuh yang merupakan danau vulkanik tertinggi di Asia Tenggara. Hanya karena melihat informasi dari sebuah majalah traveling, saya menjadi penasaran dan berniat mencapai danau tersebut tanpa keahlian mendaki gunung sama sekali sebelumnya. Sebenarnya saat saya sudah mencapai Desa Kersik Tuo, Kabupaten Kerinci yang menjadi letak lokasi danau tersebut, disebelahnya membentang gunung yang jauh lebih kesohor. Gunung Kerinci namanya. Adalah gunung berapi tertinggi di Indonesia yang menjadi titik paling tinggi di Pulau Sumatra. Saya memang sama sekali tidak berencana ke gunung tersebut waktu itu karena saya tau batas kemampuan saya sampai dimana, namun dalam hati saya berjanji suatu hari nanti saya bisa mendaki gunung yang masih menyimpan misteri didalamnya itu.
3 tahun telah berlalu dari kedatangan pertama saya ke kerinci, kali ini saya bergabung kembali dalam tim Penggiat Alam Bebas (PAB) untuk mewujudkan niat saya terdahulu. Rasa harap-harap cemas selalu menggelayut pikiran saat menjelang hari H pendakian. Bagaimana trek pendakiannya apakah bersahabat, bagaimana kalau bertemu harimau sumatra yang masih dipercaya bermukim di wilayah pegunungan tersebut sampai misteri dan mitos-mitos yang saya dengar dari Mbah Darmin, penduduk yang rumahnya dijadikan homestay tempat saya menginap 3 tahun yang lalu. Namun semua pikiran-pikiran aneh tersebut saya tepis dan lebih banyak berdoa seperti biasanya dan bersikap tawadu’ dihadapan Sang Pencipta karena kita sedang bertamu di tengah alam rimba yang menjadi kuasa-Nya.
Hari pertama kami tiba di Desa Kersik Tuo dalam keadaan capek yang luar biasa. Bagaimana tidak, kurang lebih selama 8 jam perjalanan dari Bandara Minangkabau Padang sampai ke basecamp kerinci, kami terus duduk di dalam mobil travel dan menikmati laju kendaraan yang melewati medan jalan berkelok-kelok. Memang ada beberapa kali istirahat dan berhenti di warung untuk mengisi perut yang agak lapar. Tapi itu semua tidak membuat kami tahan banting, bahkan ada yang sampai mabuk perjalanan hingga muntah hehe.. Kaki dan pantat pegal kami tahan hingga tiba di basecamp sekitar jam 18.00 menjelang malam. Saya dan tim bertemu dengan pemilik basecamp yang nantinya juga akan menjadi guide dan porter pendakian kami. Mas Andi namanya. Beliau sangat baik dan ramah. Beliau pun bercerita bagaimana kondisi pendakian gunung yang akan kami hadapi besok. Malam itu, sembari beristirahat dan makan malam, saya dan tim mempersiapkan peralatan yang akan dibawa besok. Mas Andi berpesan tidak perlu membawa terlalu banyak barang yang membuat keril berat, seperlunya saja terutama saat bermalam di area camping. Barang-barang keperluan tim dikumpulkan menjadi satu keril yang akan dibawa oleh Mas Andi dan 2 teman lainnya. Saya pun memilah-milah barang hingga beban keril menjadi tidak begitu berat. Demikian pula teman-teman yang lain begitu sibuk membongkar dan menyusun peralatan untuk dibawa seefisien mungkin. Jam berdetak hingga larut malam menyambut detik-detik yang mendebarkan esok pagi.
Kabut asap menghadang kami pagi-pagi sebelum berangkat menuju ke pintu rimba, start awal pendakian Gunung Kerinci. Saat itu pertengahan Oktober, wilayah Sumatera masih bergejolak dengan pekatnya kabut asap yang hampir menutupi jarak pandang. Pemandangan Gunung Kerinci pun tidak kami lihat selama perjalanan dengan menggunakan mobil bak terbuka dan satu buah mobil Kijang Innova. Tim pendakian ini saya sebut lintas generasi. Kenapa demikian..? Dikarenakan pendaki tua muda, lelaki dan perempuan berbagai latar belakang berkumpul menjadi satu tim yang kompak. Hal yang cukup jarang saya temui hehe.. Sebelum kami di tiba di pintu rimba, kami sempat berhenti dahulu di Tugu Macan untuk berfoto-foto di sebuah patung yang menjadi landmark dari kawasan ini dan terletak ditengah-tengah kebun teh Kayu Aro yang sudah cukup terkenal hingga ke mancanegara. Ada yang menyebut kebun teh ini adalah yang terluas di dunia. Sebuah prestasi yang pastinya membanggakan Indonesia jika informasi itu benar. Bahkan produk teh yang dihasilkannya telah di ekspor hingga negara-negara Eropa, begitu yang saya baca dari majalah dulu. Setiba di pintu rimba, kami berdoa agar perjalanan kami semua diberi kelancaran dan kemudahan hingga mencapai puncak dan kembali dengan selamat. Gunung Kerinci memiliki 3 pos pendakian dan 3 shelter hingga batas vegetasi sebelum mencapai puncaknya. Dari pintu rimba hingga pos ke-3, hutan lebat mendominasi perjalanan dengan trek yang cukup datar sehingga cukup menghemat tenaga kami. Hutan dengan pepohonan lebat khas hutan hujan tropis yang dimiliki oleh sebagian besar wilayah kpistiwa Indonesia.
Kami melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat setelah tiba di Pos 1. Dari pintu rimba kami tempuh hanya dalam waktu 20 menit. Karena trek jalan yang datar inilah kami cepat sampai di Pos 1. Menuju Pos 2 perjalanan juga sangat santai dengan trek yang cukup datar dengan belokan-belokan yang terhalang oleh batang pohon yang melintang jalan. Masih dengan dominasi pohon-pohon lebat menjulang tinggi, kami semua berjalan rileks dengan mengatur nafas dan langkah kaki agar tidak cepat lelah. Kami sampai di Pos 2 Batu lumut setengah jam kemudian. Disini kami beristirahat, duduk dan menyantap cemilan. Saya memakan anggur yang saya bawa dan membaginya dengan teman-teman yang lain. Ahh segar sekali rasanya. Tak jauh dari tempat kamu beristirahat, kearah bawah saya melihat alur sungai dengan batu-batu cukup besar. Tidak ada airnya. Mungkin karena masih musim kemarau. Kami melanjutkan perjalanan setelah dirasa cukup melepas penat. Kurang lebih sekitar 30 menit kami harus menempuh jarak sampai ke Pos 3 Pondok Panorama, yang memiliki sebuah shelter sederhana buat kami beristirahat kembali. Disitu kami bertemu dengan tim pendakian lain yang hendak melanjutkan perjalanan. Kami tidak lama di pos 3, setelah cukup beristirahat, kami segera berangkat menuju Shelter 1 yang memiliki lahan luas, sangat cocok untuk tempat camping. Tapi kami tidak menginap disitu, hanya sekedar untuk beristirahat dan tepat waktunya untuk makan siang berupa nasi bungkus yang kami bawa dari basecamp. Perjalanan menuju Shelter 1 sangat bervariasi, dari trek terjal hingga kadang-kadang ditemui trek landai dan datar, lalu terjal lagi. Kami bahkan harus mengangkat badan kami kuat-kuat dan menapakkan kaki di akar-akar pohon untuk menggapai trek yang lebih tinggi. Saya cukup bahagia karena setengah perjalanan hari itu sudah kami capai. Setelah makan siang, salat zuhur, dan cukup beristirahat, kami segera melanjutkan perjalanan menuju shelter 2.
Perjalanan dari shelter 1 menuju shelter 2 adalah yang terpanjang. Memakan waktu hingga kurang lebih 2 jam. Di trek ini kamu harus lebih berkonsentrasi dalam melintasi setiap jalurnya. Medan pendakian sudah tidak datar lagi. Kami harus melangkah lebih panjang dan menaiki setiap tanjakan, melewati batang-batang yang melintang dan akar-akar pohon. Suasana masih terasa sejuk karena hutan lebat masih menjadi pemandangan yang saya lihat. Kami sudah terpisah-pisah menjadi beberapa kelompok, tidak berjalan beriringan lagi saat memasuki pintu rimba. Saya sendiri pada saat itu bersama 4 teman yang lain, mendaki pelan dan santai melewati jalur yang semakin terjal. Saya tidak memilih mendaki sendirian untuk mengejar teman-teman yang sudah lebih dulu berada didepan. Saya lebih baik bersabar dan mendaki bersama teman yang berdekatan agar tidak saling kesasar. Ditengah perjalanan kabut menyelimuti tempat kami sesaat setelah beristirahat sejenak. Kabut yang datang tiba-tiba tersebut membuat saya merinding. Timbul perasaan kuatir apabila hujan akan datang. Kabut membuat hawa disekitar cukup dingin. Kami terus mendaki hingga akhirnya kami pun tiba di shelter 2. Kami bertemu dengan teman-teman lain yang telah tiba pertama lebih dulu di shelter itu. Mereka sudah beristirahat hampir 1 jam di shelter 2 tersebut. Sudah hampir kedinginan kata mereka. Tapi buat kami yang baru datang ingin meregangkan kaki lebih dulu sebelum lama kelamaan badan pun juga ikut terasa dingin. Sedikit lagi kami tiba di shelter 3, tempat kami akan bermalam.
Kami harus lebih berkonsentrasi lagi ketika melewati jalur pendakian menuju shelter 3. Menurut saya inilah trek yang paling seru dari Gunung Kerinci, dimana kami harus melewati semacam terowongan karena jalur tertutupi oleh akar-akar dan batang pepohonan yang lebat. Mayoritas trek menuju shelter 3 ini adalah jalur air. Karena lagi musim kemarau, ceruk-ceruk yang terbentuk dapat kami lewati. Tapi kami juga kadang memilih jalur diatas cerukan yang bisa dilewati sambil berpegangan pada batang-batang tanaman yang terjulur kearah kami. Yaa, kaki dan tangan harus bergerak lincah jika tidak ingin terjatuh ke dalam cerukan tersebut. Saya membayangkan jika musim hujan dan air di dalam ceruk itu mengalir deras, maka haruslah ekstra berhati-hati mendaki jalurnya itu. Akhirnya kami pun tiba di shelter 3 yang merupakan batas vegetasi. Kami melihat sudah ada tim lain yang telah sampai dan sedang memasang tenda. Masih ada tempat luas lagi disamping mereka. Tenda pun kami dirikan. Untunglah pendakian tidak begitu ramai. Sayangnya dari area shelter 3 itu, kami tidak bisa menikmati pemandangan dibawah kami karena tertutup oleh kabut yang lebat. Kami tidak bisa berbuat banyak selain berharap agar perjalanan ke puncak nanti malam aman untuk didaki dan cuaca tidak berkabut. Jika berkabut, kami tidak bisa berangkat karena membahayakan keselamatan sebagaimana pesan dari Mas Andi.
Malam pun tiba dan saya menyambutnya dengan menahan udara dingin yang menerpa tubuh yang terbungkus jaket. Saya merasa hawa dingin di camp shelter 3 ini lebih dingin dibandingkan Plawangan Sembalun-nya Rinjani. Saya menggigil dibuatnya. Saya mendekap rapat-rapat jaket dan menutup kaki dan tubuh saya dengan sleeping bag. Kami makan malam dengan nikmatnya sebelum beristirahat. 1 tenda yang berisi 4 orang wanita sudah sunyi tanda mereka sudah terlelap dengan nyamannya. 4 tenda lainnya masih pada mengobrol rada berisik namun saya tidak mempedulikan hal tersebut, saya hanya segera ingin terlelap memejamkan mata, menepis rasa dingin hingga waktunya bangun nanti. Jam 2 dini hari, saya terbangun dan keluar tenda untuk buang air kecil. Udara masih terasa menusuk kulit. Saya membangunkan yang lain agar bisa segera mempersiapkan diri untuk summit attack. Kepala tim pendakian mempersiapkan makanan sebagai mengisi energi kami dalam menggapai puncak kerinci nanti. Kami agak telat setengah jam dari rencana semula jam 3 untuk memulai pendakian pagi dini hari itu. Setelah selesai berdoa, kami mulai menyusuri setapak demi setapak medan terjal berpasir yang gelap gulita. Hanya dibantu oleh head lamp sebagai penerangan kami. Di depan Mas Andi meng-guide dan meminta kami berhati-hati dalam memilih jalur jalan yang bagus. "Jangan sampai ke arah pinggir", begitu katanya. Jalur trek ke puncak kerinci sejatinya sudah jelas, jika terlalu ke pinggir maka kemungkinan terpeleset semakin tinggi dan bisa jatuh ke jurang. Alhamdulillah saat itu, cuaca cerah dan bersahabat. Saya melihat ke arah langit, cukup banyak bintang berkelap-kelip menaungi perjalanan. Kami terus mendaki, menyusuri jalanan terjal bebatuan dengan kemiringan hampir 80 derajat. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi saat saya melihat semburat warna jingga mulai muncul ke permukaan. Kami beristirahat sejenak memandang ke langit. Udara tidak begitu dingin saya rasakan. Semakin lama kami mendaki lama-kelamaan jalur yang kami lewati menjadi landai. Kawasan itu penuh bebatuan, cuaca cerah tidak berkabut. Kami tiba di Tugu Yudha, sebuah tugu untuk mengenang pendaki yang hilang saat mendaki puncak Kerinci. Kabar yang beredar, pendaki tersebut tidak pernah kembali dan diberitakan sudah meninggal. Namun anehnya, jasadnya tidak pernah ditemukan. Saya berdiri di depan tugu dan berdoa buat pendaki yang hilang tersebut.
Dari Tugu Yudha, saya melihat puncak Kerinci sudah didepan mata. Pada saat itu langit sudah menunjukkan warna kebiruan cerah. Matahari pagi menyapa kami dengan cahaya hangatnya. Saya dan tim terus berjuang mendaki hingga mencapai puncak, saya berusaha melewati trek batu-batuan yang terjal dengan usaha lebih karena kaki yang mulai terasa letih. Sesekali berhenti untuk mengatur nafas. Sedikit lagi saya akan tiba di atap sumatera, titik tertinggi bumi Swarnadwipa. Pagi yang begitu cerah dan langit biru yang bersih menyambut kami di Puncak Indrapura, Gunung Kerinci yang berketinggian 3805 meter diatas permukaan laut.
Saya dan teman-teman pendakian lainnya menikmati puncak kerinci dengan penuh suka cita dan semangat yang luar biasa. Saya begitu takjub akan gagahnya gunung ini dengan dapur kawahnya yang lebar dan dalam yang mengepulkan asap dari sumber magmanya. Tidak ada pengaman sama sekali dari bibir kawah yang menjadi tempat kami beristirahat dan duduk-duduk sambil berfoto ria. Daerah bibir puncak sangat rawan longsor sekali, kita harus berhati-hati dan pasang mata lebar-lebar dan fokus agar tidak terjatuh ke dalam kawah. Walau langit cerah, dari kejauhan kami sama sekali tidak bisa melihat pemandangan desa dibawah kaki gunung karena masih tertutup kabut asap. Begitu juga dengan Gunung Tujuh dan danau kawahnya yang tidak bisa terlihat dari puncak Kerinci. Kekecewaan saya terobati dengan tingkah laku teman-teman yang begitu bersemangat bahkan mereka membuat video kebanggaan dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya. Di sisi lain saya memperhatikan seorang ibu yang menjadi teman pendakian kami satu tim, terlihat cukup lemas karena terkuras energinya. Kami saling memberikan selamat dan semangat. Karena kami semua akhirnya berhasil menggapai apa yang kami impikan selama ini. Kami turun setelah puas menjamah puncak. Dari sini, saya harus berhati-hati karena bisa terpeleset oleh bebatuan lepas. Saya turun agak cepat meninggalkan teman-teman yang lain. Panas matahari mulai terasa saat kami terus turun melewati jalur-jalur cerukan yang terlihat jelas bila dibandingkan saat naik pagi dini hari sebelumnya. Kabut asap masih terlihat di bawah gunung. Kami sampai kembali di shelter 3 untuk makan siang sebentar dilanjutkan dengan berkemas-kemas untuk kembali turun ke basecamp.
Perjalanan turun seperti biasa selalu lebih cepat daripada saat mendaki. Kami mulai turun dari shelter 3 sekitar jam 1 siang dan sampai pintu rimba sekitar jam 5 sore. Di tengah perjalanan dari pos 3 hingga pos 1 kami disambut oleh kabut lebat dan hujan turun membasahi perjalanan kami. Dengan peluh dan sisa semangat yang dimiliki, kami pun akhirnya sampai di pintu rimba dan pulang ke basecamp menggunakan mobil yang sama. Malam harinya saya berisitirahat santai dan menikmati makan malam. Teman-teman berniat untuk pergi ke Danau Gunung Tujuh besoknya. Saya memilih untuk tidak ikut karena ingin di basecamp saja mengistirahatkan kaki-kaki saya. Namun keputusan tersebut berubah tepat sebelum yang lainnya berangkat pada keesokan paginya, Hehehe..
Saya tau persis bagaimana trek menuju Danau Gunung Tujuh. Saya sudah kesana sebelumnya dan saya pikir ngapain saya kesana lagi. Tapi memikirkan nantinya seharian saya bakal sendiri dan (mungkin) bete' di basecamp karena teman-teman yang lain pada berangkat, maka saya memutuskan saja untuk bergabung dan kesana lagi, walau kaki saya masih sedikit ngilu untuk diajak jalan. Saya berusaha untuk tidak memikirkan bagaimana pegalnya kaki saat itu dimana saya terus berjalan dan melangkah menuju jalur Gunung Tujuh. Untung sebelumnya saya telah memakai minyak urut yang selalu saya bawa saat pendakian. Lumayan efektif untuk meringankan rasa pegal-pegal sehabis muncak. Jalur trekking ke Danau Gunung Tujuh sudah sangat jelas dan terus menanjak hingga ke puncaknya, lalu kemudian turun kurang lebih 500 meter ke danaunya. Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam kurang menembus hutan yang masih perawan. Sahut-sahut terdengar suara burung-burung dan hewan liar selama kami berjalan. Setiba di danau, saya agak kecewa karena pemandangan khas yang saya temui pertama kali di tempat itu tertutup oleh kabut asap. Jika cerah, tampak langit biru jernih dan lansekap salah satu puncak Gunung Tujuh. Sesekali datang kabut tipis turun menutupi sebagian danau yang menambah kemistisannya. Sunyi dan tenang sekali. Beberapa teman langsung menyeburkan diri kedalamnya. Saya juga turut serta berendam di air dingin danau tersebut karena sebelumnya tidak pernah saya lakukan karena sendiri berada di danau tersebut 3 tahun yang lalu dan terasa sangat dingin. Kali ini saya harus menebus apa yang saya tidak lakukan waktu itu. Kami juga berfoto-foto secara konyol dan tak lupa foto bersama tim pendakian kami diatas sebuah batu. Jam makan siang tiba dan kamu pun menyantap nasi bungkus padang yang kami beli sebelum tiba di pos awal pendakian. Hati senang dan puas rasanya setelah makan siang di pinggir danau dan menikmati sisa-sisa pendakian yang akan berakhir sebentar lagi.
Gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh adalah destinasi wajib bagi penyuka kegiatan alam dan outdoor di Taman Nasional Kerinci Seblat. Kamu harus coba saat bertandang ke wilayah ini. Ibarat halnya seperti Bukit Tinggi, daerah yang lebih banyak tempat wisatanya di Propinsi Sumatra Barat, Jambi punya Kerinci yang punya segudang tempat-tempat menarik lainnya. Seperti Danau Kaco, Air Terjun Telun Berasap, Danau Kerinci di kota Sungai Penuh, Air Terjun Pendung, dan lain sebagainya. Untuk mencapai daerah sini memang sebaiknya melalui kota Padang, karena waktu tempuh yang lebih singkat sekitar 7 jam dibandingkan Jambi-Kerinci yang memakan waktu kira-kira 10-12 jam. Tim pendakian kami pun kembali ke Bandara Minangkabau sehari setelah di danau dalam kondisi sehat dan selamat. Kami harus menghadapi perjalanan pesawat sekali lagi untuk tiba di Jakarta. Terima kasih kawan..kalian semua hebat. Semoga kita bertemu di pendakian yang lebih menantang lagi selanjutnya.. :) :)
Berikut video yang dibuat oleh teman saya saat pendakian Gunung Kerinci yang memorial banget. Thanks for upload May ;)